Oleh: Khairul Anam
(Sumbersarian di Tingkat Akhir Fakultas Ushululuddin Universitas Al-Azhar, Cairo)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. [QS. Hujurat: 13]
Urgensitas Ilmu Nasab
Dari arti tersirat penggalan ayat di atas, Allah SWT menganjurkan kita untuk mempelajari atau mengetahui ilmu nasab, karena semua itu tidak akan kita peroleh kecuali dengan mengenali atau mempelajarinya, sebagaimana yang telah masyhur dalam sebuah hadits:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تَعلَّموا من أنسابِكم ما تَصِلون به أرحامَكم فإن صلةَ الرحمِ مَحبَّةٌ في الأهل مَثراةٌ في المالِ مَنسَأةٌ في الأَثَرِ
“Pelajarilah dari silsilahmu apa yang dapat kamu gunakan untuk menyambung sanak familimu, karena silaturahmi adalah cinta dalam keluarga seseorang, dan menjadi sebab dilapangkan rezki.” (HR Tirmidzi)
Diriwayatkan bahwa di suatu kesempatan Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Imam As-Syafi’ie mengenai beberapa fan ilmu, semua itu dijawab dengan jawaban yang sempurna nan indah oleh Imam As-Syafi’ie, kemudian Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya lagi, bagaimana pengetahuanmu tentang nasab? Kemudian beliau menjawab: wahai Amirul Mu’minin ini adalah sebuah ilmu yang tidak bisa kita mengabaikannya (ilmu daruri), aku tahu nasab sebuah kaum yang paling mashur dan juga nasab as-syarif dan begitu dengan nasabku sendiri, kemudian sang Amirul Mu’minin berkata: wahai imam, engkau telah memberikan aku sebuah ilmu yang sangat agung dan menyelamiku terhadap agungnya nasab Quraisy.
Latar Belakang Masalah
Dari dulu sampai saat ini, tidak ada satu pun tokoh ulama Ahlussunah wal Jama’ah yang membatalkan kebersambungan nasab Habaib kepada Rasulullah SAW. Dari sini terlahirlah dua golongan yang pro kontra mengenai nasab Ba’alawi:
1. Golongan yang menetapkan terhadap adanya nasab keturunan Ba’alawi yaitu Imam Murtadha Az-Zabidi (w 1205 H) dan juga ulama yang lain.
2. Golongan yang menafikan terhadap adanya nasab keturunan Ba’alawi yaitu KH Imaduddin Ustman dan kelompoknya.
Adapun hal yang melatar belakangi gonjang-ganjing masalah seputar nasab ini:
1. Oknum yang tidak mencontohkan akhlakul karimah Baginda Nabi Saw, yang masih kurang bijak dalam berkomentar dan bersikap, merasa bebas melakukan apa saja berkat “gen” mulianya, dan hal-hal lain yang tidak bisa ditolerir menurut etika atau agama.
2. Oknum yang memiliki pengalaman tidak menyenangkan bersama oknum pertama, yang pada akhirnya (berdasarkan hal tersebut) menyama-ratakan bahwa kelompok pertama kumpulan orang-orang yang sombong, jumawa, gila hormat dan merasa paling hebat karena keturunannya serta tidak pernah menghormati orang-orang di luar golongan mereka. Hingga pada akhirnya muncul respon berupa kesimpulan-kesimpulan fatal dan gegabah dari keduanya akibat pemukul-rataan tanpa pengecualian tersebut seperti: “mereka tidak hormat dan iri,“ juga kalimat negatif “mereka tidak memiliki sopan santun,“ bahkan yang lebih parah adalah asumsi bahwa: “menghormati mereka adalah bentuk penjajahan modern yang merupakan sisa dari propaganda Belanda.“
Tangkapan layar foto tokoh pembatal nasab beberapa tahun silam
Pada akhirnya, tidak akan ada kebaikan sama sekali dalam upaya “pemetakan” dan pemecah belahan antara siapapun, apalagi antara dua elemen penting nan mulia seperti para kiai dan dzurriah Nabi. Penyama-rataan (apalagi yang didasari) kebencian dan kesentimenan tetaplah sikap kekanak-kanakan seindah bahkan seilmiah apapun bungkus dan luarannya.
Sebenarnya yang menjadi maklumat penting bagi kita semua adalah berusaha untuk berakhlak dan berperilaku seperti leluhur kita jika ingin menisbatkan diri kita dengannya apalagi dengan sang Baginda nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan poin penting dari semua ini adalah bentuk ketakwaan diri kita kepada Allah SWT, tidak perlu sibuk ke sana-sini mengkritik apalagi memalsukan tentang nasab. Semua itu tidak lain hanya berangkat dari kebencian dan ketidak sukaan terhadap satu oknum yang pada akhirnya berimbas kepada yang lain.
Sederhananya, orang yang ingin hajat dan cita-citanya terpenuhi, maka bertawasullah kepada Imam Ghazali Ra, demikian tegas Imam Abul Hasan Al-Syadzili mengungkapkan. Jika bertawasul dengan Imam Ghazali saja, maka hajat-hajat kita akan Allah penuhi, lalu bagaimana apabila tawasul itu kita lakukan kepada Baginda Rasul? Maka sangat jelas dikatakan dalam sebuah shalawat:
بجاهِ طٰهَ الرسولِ # جُدْ ربَّنا بالقَبولِ
وَهَب لنا كلَّ سُولٍ# ربِّ استجِب لي أمين
Bahkan, jangankan kepada Baginda Rasul, kepada cucu keturunan beliau Nabi Muhamad SAW saja, kita diajarkan untuk kemudian cinta dan bertawasul dengan mereka seperti disebutkan dalam sebagian gubahan do’a:
ربِّ فانفَعنا ببركتِهم# واهدِنا الحُسنى بحُرمتِهم
واَمِتنا في طريقتِهم# ومُعافاةٍ من الفِتنِ
Tanggapan Ulama Kontemporer
Maulana Syekh Ali jum’ah (mantan Mufti Mesir) berpendapat seperti di video yang beredar baru-baru ini tentang nasab Sadah Ba’alawi bahwa: “Nasab Ba’alawi itu tsabit (benar, diakui) secara ijma’, tidak ditemukan ulama yang meragukan hal itu, dan jikapun ada yang meragukannya, maka kita katakan padanya: Hiduplah dengan hayalanmu! Hasbunallah wa Ni’ma al-Wakil (pada Allah SWT kita bersandar atau berserah diri).”
Ungkapan kalimat pemasrahan Syekh Ali Jum’ah terakhir (حسبنا الله ونعم الوكيل) merupakan ungkapan yang dipakai oleh orang-orang di Mesir ketika dizhalimi sehingga menyerahkan pada Allah SWT untuk menindak langsung orang yang zhalim tersebut.
Video Syekh Ali Jum’ah menanggapi polemik seputar nasab
Upaya meragukan nasab Ba’alawi adalah perbuatan yang rendah dan hina, berhati-hatilah di zaman sekarang, banyak bermunculan Aswaja rasa Wahabi, bahkan Aswaja rasa Khawarij. Mengakunya Aswaja, bahkan bertengger di Ormas Aswaja, akan tetapi kelakuannya menebar syubhat-syubhat (berkesing ilmiah) agar umat jauh dari Habaib atau paling tidak tidak lagi menaruh rasa mahabbah kepada Habaib sebagaimana yang dicontohkan para ulama kita terdahulu.
Tes DNA tidak selamanya menjadi tolak ukur untuk membuktikan sebuah nasab seseorang, hal ini bisa berlaku hanya ketika ada keraguan saja, lantas apakah nasab Ba’alawi itu terdapat keraguan dan kejanggalan? Tentu saja tidak, disebutkan dalam kitab Arraudhul Jalii Fii Ansabi Ali Ba’alawi halaman 31 karya Imam Murtadha Az-Zabidi bahwa keturunan sadah Ba’alawi itu murni adanya bahkan dipaparkan di dalamnya bahwa keturunannya ada yang bernama Abdullah dan juga yang menyebutnya Ubaidillah.
Pada dasarnya terealisasinya sebuah nasab tidak harus disertakan dengan syahadah dan karangan kitab yang berjudulkan tentang nasab sendiri, dan semua kembali kepada keyakinan dan kecintaan kita kepada dzurriyah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan dipenuhi rasa cinta kepada sang Baginda dan juga dzurriyahnya.
Sumbersari.net