Haruskah Lebaran Sama?

Indahnya Perbedaan

Minggu-minggu ini terjadi polemik dan silang pendapat yang cukup tajam di dunia maya menyikapi waktu lebaran 1444 H, apakah jatuh pada hari Jum’at atau Sabtu. Perbedaan ini sejatinya bukan sesuatu hal yang baru, tetapi dukung mendukung pada kelompok dan Ormas masing-masing tidak dapat dihindarkan.

Ceruk polarisasi tersebut semakin menajam manakala terdapat 60-an Negara merayakakan hari lebaran Idul Fitri pada Jum’at, 21 April 2023, tersisa 4 Negara Asia Tenggara yang di dalamnya terdapat Indonesia (ORBITINDONESIA.COM), sementara pada sidang itsbat yang diselenggarakan Kementerian Agama RI menetapkan 1 Syawal jatuh pada Sabtu, 22 April 2023.

Arab Saudi dan Mesir adalah dua Negara yang menjadi kiblat dan menara ilmu umat Islam selama ini menetapkan lebaran Idul Fitri pada hari Jum’at mengikuti Negara lainnya. Keputusan tersebut seperti menjustifikasi dan membenarkan kelompok yang merayakan lebaran pada hari tersebut. Benarkah demikian?

Perbedaan Mathla’

Apabila hilal terlihat di suatu Negeri dan tidak terlihat di Negeri lainnya, maka dua Negeri tersebut dihukumi satu Negeri apabila wilayah teritorialnya berdekatan disebabkan satu matla’ (penampakan bulannya sama). Apabila mathla’nya berbeda, maka penetapan puasa Ramadhan atau Syawal berlaku bagi wilayah yang melihat hilal, dan tidak berlaku bagi yang tidak melihat hilal.

Penetapan Idul Fitri yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Mesir misalnya bukan suatu pembenaran dan tidak harus sama dengan Negeri lainnya yang berbeda matla’nya.

إمتاع النجيب، الشيخ هشام كامل، ١٦٨

والدليلُ ما روی كُرَيبٌ قالَ: استُهِلَّ عَلَيَّ رمضانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيتُ الهِلَالَ لَيلَةَ الجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمتُ المَدِينَةَ فِي أٓخِرِ الشَّهرِ، فَسَأَلَنِي عَبدُ اللهِ بنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنه، ثُمَّ ذَكَرَ الهِلَالَ فَقَالَ مَتَی رَأَيتُمُ الهِلَالَ؟ فَقُلتُ رَأَينَاهُ لَيلَةَ الجُمُعَةِ، فَقَالَ أَنتَ رَأَيتَهُ؟ فَقُلتُ نَعَم وَرَأٓهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ لَكِنَّا رَأَينَاهُ لَيلَةَ السَّبتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّی نُكمِلَ ثَلَاثِينَ أَو نَرَاهُ، فَقُلتُ أَوَلَا تَكتفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّی اللهُ عليهِ وسلَّم.. رواه مسلم وابو داود وغيرهما

Diriwayatkan oleh Kuraib, ia berkata, “Telah dimulai Ramadhan bagiku sementara aku berada di Syam, aku melihat bulan pada malam Jum’atnya, kemudian aku pergi ke Madinah pada akhir bulan, Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku dan berbicara hilal, ia berkata kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab, kami melihatnya pada malam Jum’ at. Abdullah bin Abbas berkata, engkau benar melihatnya? Aku menjawab ia, begitu juga orang-orang, mereka berpuasa, dan Muawiyah berpuasa. Ia berkata, tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa menyempurnakan sampai 30 atau kami melihatnya. Aku berkata, tidakkah cukup apa yang telah dilihat Muawiyah begitu juga dengan puasanya? Abdullah bin Abbas menjawab, begitulah Rasulullah mengajarkan kami.” HR. Muslim dan Abu Daud dan lainnya.

Menyikapi Perbedaan

Riwayat Imam Muslim dan Abu Daud di atas menegaskan bahwa perbedaan penetapan puasa Ramadhan dan Syawal sudah terjadi 13 abad yang silam antara Ibnu Abbas di Madinah yang melihat hilal pada malam Sabtu dan Muawiyah di Syam (Damaskus, Syiria) ) yang melihat hilal pada malam Jum’atnya, di mana jaraknya hanya sekitar 15, 8 km saja, mengingat kudua wilayah tersebut berbeda matla’nya. Perbedaan antara kedua sahabat mulia Nabi tersebut masih dalam ruang lingkup ijtihad dan sama-sama berpegang pada perintah ajaran Agama dan saling menghargai satu sama lainnya.

Kalangan Syafiiyah berpendapat bahwa perbedaan permulaan puasa dan lebaran dihitung dari perbedaan mathla’ bulan di antara jarak yang jauh, di mana dekat jauhnya suatu wilayah dihitung sejauh perjalanan qashor.

الفقه الإسلامي وأدلته، ج ٢، ٥٣٣

وفي رأي الشافعيةِ يختلفُ بدء الصومِ والعيدِ بِحسبِ اختلافِ مطالعِ القمرِ بين مسافاتٍ بعيدةٍ. ولا عبرةَ في الاصحِّ بما قاله بعضُ الشافعيةِ: من ملاحظة الفرق بين البلد القريبِ والبعيدِ بحسب مسافةِ القصر ٨٩ كم

Permasalahannya sidang itsbat yang ditetapkan Kemenag RI sifatnya tidak mengikat sebagaimana di Negeri lainnya ketika mufti Negara tersebut menetapkan maka menjadi keputusan tetap dan pasti. Jika ingin sebuah keputusan yang sama, maka Kementrian Agama perlu duduk bersama dengan Ormas-Ormas yang ada seputar kriteria penetapan . Begitu juga tentang kriteria hilal dengan ketinggian 3 derajat, elongasi 6.4 derajat yang disepakati dengan Menteri 4  Negeri tetangga di Asia Tenggara yang dalam hal ini Berunai, Indonesia, Singpura dan Malaysia. Bila keputusan Negara mengikat maka tidak terjadi lebaran jauh-jauh hari yang dirayakan oleh kelompok masyarakat Aboge, Probolinggo beberapa hari yang lalu, yang seharusnya bila menjadi keputusan tetap, pemerintah dapat melarangnya.

Namun demikian mari kita berbeda dengan indah, damai penuh keberkahan. Semoga kita semua tidak saling menghujat, mencaci maki dan merasa benar sendiri.

تقبل الله منكم ومنكم صالح الاعمال

كل عام وانتم بخير

SSMedia

 

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *