Hikmah Disyari’atkannya Puasa

 

Hikmah & Tingkatan Puasa
Sebagaimana yang sudah jamak diketahui bahwa bulan puasa adalah sebuah momentum yang ditunggu-tunggu dan dirayakan oleh umat Islam dalam setiap tahunnya, maka dari itu seluruh umat Islam sangat gembira dan bahagia jika hari keberkahan itu sudah tiba karena di dalamnya terdapat beberapa kemuliaan dan keberkahan yang tidak bisa diraih di hari dan di bulan yang lain.
Di antara beberapa hikmah disyari’atkannya puasa Ramadhan adalah:

• Puasa merupakan wasilah/ perantara untuk memperbaiki diri dalam bertakwa kepada Allah SWT, karena ketika seseorang sudah terbiasa mencegah diri dari perkara yang mubah seperti makan dan minum karena murni mengharap ridho Sang Ilahi dan takut dari amarah dan siksaan-Nya, maka hal demikian juga terasa mudah untuk menghindar dari perkara yang diharamkan, dan menghiasi diri untuk bertakwa kepada Allah SWT sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah, Ayat: 183.

• Puasa merupakan wasilah/ perantara untuk melatih diri dengan keikhlasan, karena sejatinya orang yang berpuasa tahu bahwa tidak seorangpun yang mengetahui terhadap hakikat puasanya kecuali Allah SWT, jika orang yang berpuasa itu berkeinginan untuk meninggalkan puasanya tanpa sepengetahulan orang lain akan terjadi, namun tidak demikian yang mereka inginkan kecuali ridho Sang Ilahi. Apabila sudah terdidik dan terlatih dengan sifat yang mulia tersebut maka sudah tidak diragukan lagi bahwa jiwa itu dihiasi dengan keikhlasan.

• Puasa merupakan wasilah/ perantara untuk bersyukur, karena dengan dilarangnya seseorang dari nikmat yang diberikan oleh Allah di waktu berpuasa mulai dari makan, minum dll, maka menjadi jelas kepada mereka terhadap agungnya nikmat tersebut, juga bisa merasakan apa yang diderita orang fakir dan miskin dalam merasakan lapar dan haus.

Puasa tidak hanya menahan diri dari lapar dan haus, Imam Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa: Imam Ibnu ‘Arabi menukil dari sebagian para zuhhad bahwa puasa itu ada empat tingkatan:
1. Shiyamul Awam: menahan diri dari lapar, haus dan jimak;

2. Shiyamu khawashil awam: menahan diri dari lapar, haus dan jimak, serta menjauhi perkara yang dilarang oleh Allah baik dari segi perkataan atau pekerjaan;

3. Shiyamul khowash: menahan diri untuk tidak menyebut atau mengingat selain Allah dan beribadah kepadanya;

4. Shiyamu khawashil khowash: menahan diri dari selain Allah (untuk sibuk dengan selain Allah), mereka tidak pernah lupa kepada Allah walaupun sekedip mata, hati mereka selalu bergantung kepada Allah sampai hari kiamat.

Sudah tidak dipungkiri lagi dengan poin yang pertama bahwa setiap orang (Islam) pasti mengerjakannya, berbeda dengan poin yang ke 2,3,4 yang tidak mudah untuk melaluinya sebagaimana membalikkan telapak tangan, dibutuhkan perjuangan dan mujahadah sembari memohon kepada Allah untuk meminta pertolongan. Imam Ghozali berkata, “Hati itu berpuasa dari kepentingan yang berupa duniawi, dari perselisihan dunia, dan menjauhkan diri dari selain Allah dengan keseluruhan”.

Ulama fikih menyadari bahwa puasa itu mengajarkan dan mengajak kita untuk bersikap lemah lembut kepada fakir miskin, maka dari kelemah lembutan itulah mengantarkan kita untuk menunaikan rukun Islam yaitu zakat. Tidak hanya itu saja, puasa juga mengajarkan kita untuk saling tolong menolong dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Sedangkan ulama tasawuf menyadari bahwa dalam puasa itu terdapat wasilah yang agung untuk menyucikan hati dari beberapa hal keji dan munkar, maka tingkatkanlah kebaikan dan ketaatan di bulan yang penuh berkah seakan-akan kita tidak akan bertemu lagi dengan bulan tersebut agar kita lebih semangat dan gigih dalam beribadah.

Perlu diketahui bahwa buah dan inti dari semua ini adalah membentuk ketakwaan kita kepada Allah SWT. Semoga kita selalu diberi keberkahan dalam hidup sehingga terasa mudah untuk melaksanakan kebaikan dan ketaatan kepada Sang Khaliq.

Khoirul Anamۢ/sumbersari.net

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *